zonamerahnews – Gubernur Bali, I Wayan Koster, baru-baru ini melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan. Dalam sambutannya di Musrenbang RKPD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun 2026, Selasa (15/4), Koster menyoroti rendahnya produktivitas pertanian di Bali dan mendesak Kepala Dinas Pertanian untuk meningkatkannya, bahkan sampai perlu belajar ke Israel. Pernyataan ini muncul di tengah kekhawatiran akan ancaman krisis pangan di Pulau Dewata.
Koster mengakui bahwa secara angka, ketersediaan pangan di Bali untuk 4,4 juta penduduknya masih surplus, bahkan sempat mencapai surplus 100 ribu ton beras pada periode pertama kepemimpinannya. Namun, angka tersebut kini menyusut menjadi 53 ribu ton di tahun 2024. Lebih mengkhawatirkan lagi, luas lahan produktif di Bali terus menyusut setiap tahunnya akibat pembangunan pariwisata dan infrastruktur lainnya. Koster melihat hal ini sebagai ancaman serius bagi ketahanan pangan Bali di masa depan.

"Cuma Kadis Pertanian-nya kurang progresif," tegas Koster, menyinggung kinerja dinas terkait. Ia menekankan perlunya inovasi, seperti mengoptimalkan lahan kering untuk pertanian modern dan meningkatkan produktivitas sawah hingga tiga kali panen per tahun. Sebagai solusi, Koster menyarankan agar Dinas Pertanian Bali mempelajari teknologi pertanian modern, bahkan sampai ke Israel yang dikenal dengan kemajuan pertaniannya meskipun minim lahan subur dan air. "Belajar ke Israel yang luar biasa, enggak punya lahan subur, tidak ada air, tapi pertaniannya sangat maju, karena teknologinya sangat maju. Embun diolah jadi air tanaman," ujarnya.
Koster juga menyoroti praktik mafia impor yang menurutnya menjadi penghambat utama dalam mengatasi persoalan pangan di Indonesia. Ia menekankan perlunya pengawasan ketat untuk mencegah ketergantungan pada impor pangan, sekaligus melindungi petani lokal. Program Pembangunan Bali 100 Tahun yang dimulai pada 2026 pun, menurutnya, harus memperhatikan pengembalian alih fungsi lahan produktif, termasuk dengan peraturan daerah yang mengatur alih kepemilikan lahan. Jika tidak, ancaman krisis pangan di Bali akan semakin nyata. "Malu kita negara agraris impor beras, impor bawang putih. Malu jadi negara maritim, impor garam," tandasnya.