zonamerahnews – Jakarta – Maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, khususnya yang menyasar anak-anak di sekolah dan pesantren, mendorong Komisi X DPR RI untuk mengambil langkah konkret. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, mengusulkan penyusunan kurikulum antipencabulan dan kekerasan seksual yang komprehensif dan terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional.
Lalu Hadrian mengungkapkan keprihatinannya atas fakta bahwa lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi anak-anak, justru menjadi arena kekerasan. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat adanya 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang tahun 2024, dimana 42% diantaranya adalah kasus pencabulan. Lebih ironis lagi, 36% kasus pencabulan terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren.

"Tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati," tegas Lalu.
Politisi dari PKB ini menekankan pentingnya kurikulum yang dirancang lintas disiplin, yang tidak hanya mengajarkan tentang batasan tubuh dan hak-hak anak, tetapi juga membangun keberanian untuk menolak segala bentuk pelecehan. Ia mencontohkan negara-negara seperti Belanda, Jerman, dan Swedia yang telah berhasil menerapkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak.
Di Belanda, program "Kriebels in je buik" (Butterflies in your stomach) diperkenalkan sejak usia dini untuk membangun pemahaman tentang batas tubuh dan kepercayaan diri anak. Sementara di Swedia, pendidikan relasi dan seksualitas telah menjadi bagian dari kurikulum nasional sejak tahun 1955.
Lalu Hadrian mengusulkan empat langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah bersama DPR untuk mewujudkan kurikulum antipencabulan ini. Pertama, menyusun kurikulum pencegahan pencabulan yang berbasis budaya lokal dan nilai-nilai agama. Kedua, pelatihan guru, pembina pesantren, dan seluruh tenaga kependidikan untuk memahami etika relasi kekuasaan dan sensitivitas perlindungan anak.
Ketiga, membangun sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban, termasuk di lingkungan pesantren yang selama ini minim pengawasan eksternal. Keempat, memulai pemodelan sekolah dan pesantren percontohan sebagai zona aman (Safe School and Pesantren Zone) guna menunjukkan efektivitas pendekatan preventif.
"Kita tidak bisa lagi menormalisasi kekerasan atas nama pendidikan. Kita tidak bisa diam saat tubuh dan jiwa anak-anak kita dihancurkan oleh mereka yang sejatinya harus menjadi pelindung," pungkas Lalu.

