zonamerahnews – Sidang kasus dugaan bullying yang berujung pada kematian dr. Risma Aulia di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (26/5), mengungkap fakta mengejutkan. Tiga terdakwa, mantan Kaprodi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip Taufik Eko Nugroho, staf administrasi Sri Maryani, dan dokter senior Zara Yupita, didakwa atas berbagai pelanggaran.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Semarang, Shandy Handika, mengungkapkan pungutan liar (pungli) senilai Rp2,4 miliar yang dilakukan Taufik sejak 2018 hingga 2023. Setiap mahasiswa PPDS diwajibkan membayar Rp80 juta dengan dalih biaya operasional pendidikan, namun dana tersebut tidak transparan dan tidak masuk rekening universitas. Sri Maryani, yang menerima dan mengelola dana tersebut, mencatat seluruh transaksi dalam buku bersampul batik kuning. Taufik sendiri diduga menerima Rp177 juta untuk kepentingan pribadi. Ketiganya didakwa dengan Pasal 368 KUHP (pemerasan), Pasal 378 KUHP (penipuan), atau Pasal 335 KUHP (pemaksaan). Mereka menolak mengajukan eksepsi dan meminta persidangan dilanjutkan.

Terdakwa Zara Yupita, kakak pembimbing dr. Aulia, didakwa dengan Pasal 368 ayat (1) KUHP dan Pasal 335 ayat (1) KUHP. Ia diduga terlibat dalam praktik pungutan biaya joki tugas senilai Rp88 juta dari dokter junior, termasuk dr. Aulia. Lebih mengejutkan lagi, persidangan mengungkap adanya "pasal anestesi" yang berisi aturan senior selalu benar dan junior dilarang mengeluh. Pelanggaran aturan ini berujung pada intimidasi dan hukuman fisik, termasuk hukuman berdiri selama satu jam dan difoto. Zara juga diduga mengancam dr. Aulia dengan mempersulit hidupnya di program PPDS.
JPU menyatakan, sistem senioritas dan indoktrinasi di PPDS Undip menciptakan relasi kuasa yang tidak sehat, berujung pada kekerasan psikis yang diduga menyebabkan dr. Aulia mengakhiri hidupnya. Hilangnya kepercayaan diri, frustrasi, ketakutan, dan ketidakberdayaan yang dialami dr. Aulia disebut sebagai faktor utama yang mengarah pada tindakan bunuh diri. Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan dan reformasi sistem pendidikan kedokteran untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.

