zonamerahnews – Kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi perhatian serius. Data terbaru menunjukkan ribuan siswa menjadi korban dalam kurun waktu sepekan terakhir, memicu desakan evaluasi total terhadap program ini.
Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat hingga 22 September, sebanyak 4.711 orang mengalami keracunan. Sebaran korban meliputi wilayah Sumatra (1.281 orang), Jawa (2.606 orang), serta Kalimantan, Bali, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Papua (824 orang). Sementara itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat angka yang lebih tinggi, yaitu 6.452 kasus keracunan MBG hingga 21 September, dengan Jawa Barat menjadi wilayah tertinggi (2.012 orang).

Gelombang keracunan terus berlanjut antara 22-26 September, terutama di Jawa Barat. Kabupaten Bandung Barat mencatat kasus terbesar dengan 1.315 siswa dirawat akibat keracunan massal di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas. Daerah lain seperti Sumedang, Cianjur, Sukabumi, dan Subang juga mengalami kejadian serupa. Di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, 27 siswa juga menjadi korban dan harus dirawat di rumah sakit.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menekankan pentingnya kesiapan daerah dalam menangani keracunan massal. Saat mengunjungi posko penanganan di Bandung Barat, Dadan mengapresiasi koordinasi petugas, namun mengakui adanya "keteledoran" dalam proses persiapan makanan. BGN berjanji mengusut tuntas penyebab keracunan dan melakukan evaluasi menyeluruh.
Koalisi Kawal MBG mendesak penghentian sementara program dan evaluasi total. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Eva Nurcahyani, menilai tata kelola program MBG buruk dan minim akuntabilitas, serta berulang kali merugikan masyarakat akibat kasus keracunan. Ketua DPR Puan Maharani juga meminta evaluasi total, menekankan pentingnya identifikasi akar masalah secara bersama-sama.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berencana mengundang Kepala BGN wilayah Jabar untuk mengevaluasi program MBG secara terbuka. Evaluasi ini bertujuan mencari solusi atas masalah seperti keracunan siswa, yang diduga disebabkan oleh jarak waktu antara memasak dan mendistribusikan makanan yang terlalu lama.

