zonamerahnews – Bentrokan sengit antara ratusan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan warga adat kembali pecah di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada Senin (22/9). Insiden berdarah ini mengakibatkan puluhan petani mengalami luka-luka, menambah daftar panjang konflik agraria di wilayah tersebut.
Peristiwa mencekam ini terjadi di lahan pertanian masyarakat adat Buntu Panaturan, Desa Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, yang terletak hanya sekitar 3 kilometer dari bibir Danau Toba, tepatnya di kawasan Dolok Mauli-Sipolha.

Menurut Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara, Boy Raja Marpaung, penyerbuan terjadi saat puluhan petani yang tergabung dalam Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras) sedang beraktivitas di ladang sekitar pukul 07.00 WIB.
Tiba-tiba, rombongan pekerja TPL datang dengan menggunakan 10 kendaraan, terdiri dari 7 truk dan 3 mobil pribadi. "Para pekerja PT TPL itu mengenakan seragam hitam-hitam, membawa parang bengkok, tongkat listrik, rotan, kayu, hingga tameng. Mereka datang sekitar 150 orang, mirip pasukan anti huru-hara," ungkap Boy Raja Marpaung kepada zonamerahnews.com – , Selasa (23/9).
Boy menjelaskan bahwa awalnya sempat terjadi perdebatan antara petani dan rombongan pekerja TPL. Namun, situasi memanas ketika seorang perempuan masyarakat adat dipukul hingga giginya copot. "Kemudian para petani panik dan bentrok pecah. Petani dipukul mundur. Keributan semakin meluas ketika sekitar 500 pekerja dan petugas keamanan TPL datang kembali. Mereka bahkan merusak tanaman kopi, jahe, dan jagung, serta menghancurkan alat pertanian," jelasnya.
Akibat insiden tersebut, setidaknya 34 petani mengalami luka-luka, dengan 10 di antaranya harus menjalani perawatan intensif. Selain itu, sepeda motor milik petani dirusak, 10 unit di antaranya dibakar, 4 unit rumah warga dibakar, dan hasil panen hancur. "Masyarakat lari tunggang-langgang mencoba menyelamatkan diri. Bahkan mayoritas korban merupakan perempuan," tambahnya.
Boy menegaskan bahwa konflik agraria antara masyarakat adat Lamtoras dan PT Toba Pulp Lestari bukanlah hal baru. Masyarakat telah turun-temurun mengelola tanah adat di kawasan itu, jauh sebelum PT TPL hadir. Namun, TPL mengklaim lahan tersebut sebagai bagian dari konsesi hutan tanaman industrinya. "Ini konflik puluhan tahun. Tanah itu merupakan tanah adat. Tapi TPL menganggap itu konsesinya. Hari ini mereka datang bukan untuk mediasi, tapi dengan kekerasan. Kami akan mengambil langkah hukum dengan melaporkan kejadian itu ke Polres Simalungun," tegasnya.
Sementara itu, Corporate Communication Head PT TPL, Salomo Sitohang, memberikan keterangan yang berbeda. Ia berdalih bahwa peristiwa bermula ketika rombongan pekerja hendak menuju lokasi pemanenan dan penanaman eukaliptus. Namun, di tengah perjalanan, mereka dihadang sekelompok orang yang melakukan pelemparan batu serta memblokir jalan dengan kayu gelondongan.
Akibat konflik tersebut, setidaknya enam orang pekerja PT TPL mengalami luka-luka dan dua unit mobil operasional dibakar. Seluruh korban telah dibawa ke RSUD Parapat untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Perusahaan juga sudah melaporkan kejadian ini ke pihak berwenang," ujar Salomo dalam keterangan tertulis.
Salomo mengklaim bahwa aktivitas perusahaan dilakukan sesuai aturan melalui Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Ia menambahkan, TPL berkomitmen untuk mengutamakan penyelesaian damai dalam menghadapi setiap persoalan di lapangan.

