Ini Penerapan Justice Collaborator Menurut SEMA 2022 dan UU LPSK

oleh -0 views
oleh
Ini Penerapan Justice Collaborator Menurut SEMA 2022 dan UU LPSK
banner 728x250

loading…

Penerapan JC dalam perkara pengadilan yang hendak dijalani Bharada E, berdasarkan landasan aturannya diketahui hendak menggunakan dua jenis acuan peraturan. Foto/Dok/Kejagung

JAKARTA – Penerapan Justice Collaborator (JC) dalam perkara pengadilan yang hendak dijalani Bharada E, berdasarkan landasan aturannya diketahui hendak menggunakan dua jenis acuan peraturan.

Adapun dua jenis peraturan penerapan Justice Collaborator yakni Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 dan Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014.

Kedua jenis acuan tersebut memiliki perbedaan, salah satunya dikarenakan tahun pengesahannya yang berbeda. Baca juga: Sengkarut Justice Collaborator

Adapun penerapan keduanya, jika mengacu pada pernyataan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Susilaningtias, keduanya digunakan sebagai acuan yang saling melengkapi dalam penerapan JC di pengadilan.

“Jadi JC itu acuannya ada dua, ada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 itu dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 tahun 2014. SEMA itu sebenarnya sebagai acuan bagi Hakim untuk menyidangkan kasus-kasus terkait dengan JC dan WB (whistleblower),” ujar Susi kepada MPI melalui sambungan telepon, Kamis (13/10/2022).

Baca juga: Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator

Akan tetapi menurut Susi, UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2014 yang muncul setelah penerapan SEMA nomor 4 tahun 2011, tentunya menjadi lebih terbaru dan terperinci dalam implementasinya.

“Undang-undang perlindungan saksi dan korban itu muncul kan setelah SEMA, jadi itu lebih baru. Biasanya seharusnya digunakan dua-duanya dalam persidangan terkait status saksi pelaku yang bekerja sama,” jelas Susi.

Adapun perbedaan mendasar jika menilik pada SEMA Nomor 4 Tahun 2011, status penanganan khusus JC di dalam pengadilan diambil berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Menurut ketentuan SEMA, perlakuan khusus bagi JC hanya diberikan dalam dua bentuk pertimbangan.

“Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud,” tulis keterangan SEMA pada nomor sembilan dalam poin C.

Sedangkan perbedaan JC yang terbaru mengacu pada Pasal 10 A UU Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014, yang didalamnya mendapatkan penambahan terkait penanganan secara khusus dalam pengadilan. Penanganan khusus yang dimaksud menitikberatkan pada penghargaan atas kesaksian yang diberikan oleh JC atau saksi pelaku.

“Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa:
a. Keringanan penjatuhan pidana; atau
b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana,” tulis keterangan dalam Ayat (3) pasal 10 A tersebut.

(maf)